Jumat, 04 Mei 2012

INTELEKTUAL SEBAGAI BEKAL MENJADI KHALIFATULLAH FI AL-ARDHI Q.S. al-Baqarah : 30-31

30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang KHALIFAH di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Ayat ini dimulai dengan penyampaian .....
keputusan Allah kepada malaikat tentang rencanaNya untuk menciptakan manusia di permukaan bumi. Penyampaian kepada mereka penting karena mereka (malaikat) akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharannya, ada yang membimbingnya, dan sebagainya. Pengetahuan itu juga kelak ketika diketahui manusia akan menuntunya bersyukur kepada Allah atas anugrahNya yang tersimpul dalam dialog antara Allah dan malaikatNya “ Sesungguhnya Aku akan mencitakan Khalifah di dunia” mendengar pernyataan tersebut para malaikat tidak menerima begitu saja dengan keheranan mereka bertanya kepada Allah tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasar asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka pasti makhluk itu akan berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih menyucikan Allah swt. Pertanyaan mereka itu juga lahir dari penamaan Allah terhadap makhluk yang akan dicipta itu dengan khalifah. Kata ini mengesankan makna pelerai perselisihan dan penegak hukum, sehingga dengan demikian pasti ada diantara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah.
Semua itu adalah dugaan, namun apapun latarbelakangya, yang pasti mereka bertanya keapda Allah bukan berkeberatan atas rencanaNya.
Apakah, bukan “mengapa” seperti dalam beberapa terjemahan, Engkau akan menjadikan khalifah di bumi siapa yang akan merusak dan menumpahkan darah?” bisa saja bukan Adam yang mereka maksud merusak dan menumpahkan darah, tetapi anak cucunya.
Perlu diketahui, bahwa kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah dalam arti yang menggantikan ketetanNya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadiakn manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah hendak menguji manusia dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.
Betapapun, ayat ini menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugrahkan Allah swt, makhluk yang diserahi tugas, yakni Adam a.s dan keturunannya, serta wilayah tempat bertuga, yakni bumi yang terhampar ini.
Jika demikian, kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendakNya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.
Untuk mengembang tugas mulia tersebut Allah kemudian melanjutkan firmanNya

“Dia mengajar Adam nama-nama (benda)seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman : “sebutkanlah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu benar!” Mereka menjawab, “ maha suci Engkau, tidak pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang maha mengetahun (lagi) maha bijaksana”
Ayat ini memberikan gambaran bahwa Allah swt telah memberikan potensi pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang digunakan yang menunjuk nama benda-benda, atau mengajarkan fungsi benda-benda. Atau dengan kata lain ayat ini mengimformasikan bahwa manusia dianugrahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, fungsi angin, dan sebagainya. Dia juga dianugrahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarnya terlebih dahulu nama-nama. Ini papa, ini mama, itu mata, itu pena, dan sebagainya. Itulah sebagian makna yang difahami oleh para ulama dariu firmanNya: Dian mengajar Adam nama-nama (benda) seluruhnya.
Sambungan ayat ke-30 ini memperjelas kemahatahuan Allah dari makhlukNya. Dengan bekal pengetahuan yang telah diberikan Allah kepada Adam malaikatpun ditantang untuk menyebutkan nama-nama benda yang sesungguhnya sangat mudah tetapi mereka tidak dibekali pengetahuan akan benda-benda tersebut sehingga mengakibatkan kesadaran akan kelemahan mereka dengan makhluk ciptaan Allah yang bernama manusia itu.
2 ayat di atas memberikan gambaran jelas akan tugas penciptaan manusia. Selain untuk beribadah kepada Allah juga menjadi wakilNya untuk mengelola bumi. Dengan tugas yang mulia tersebutlah manusia dibekali pengetahuan-pengatahuan dasar sebagai penunjang keberhasilannya mengemban amanah sebagai khalifah.
Selanjutnya, bagi ulama-ulama yang memahami pengajaran nama-nama kepada Adam as. Dalam arti mengajarkan kata-kata, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa kepada beliau dipaparkan benda-benda itu, dan pada saat yang sama beliau mendengar suara yang menyebut nama benda yang dipaparkan tersebut. Ada juga yang berpendat bahwa Allah mengilhamkan kepada Adam as. Nama benda itu pada saat dipaparkannya sehingga beliau memiliki kemampuan untuk memberi kepada masing-masing benda nama-nama yang membedakannya dari benda-benda yang lain. Pendapat ini lebih baik dari pendapat pertama. Ia pun tercakup oleh kata mengajar karena mengajar tidak selalu dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata atau ide, tetapi dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta didik sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat melahirkan aneka pengetahuan.
Apapun makna penggalan ayat ayat ini, namun yang jelas salah satu keistimewaan manusia adalah kemampuannya mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya menangkap bahasa sehingga ini mengantarkannya “mengetahui” di sisi lain. Kemampuan manusia merumuskan ide dan memberi nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.
Atas ayat di atas pula sering kita mendengar penjelasan bahwa Allah swt menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling mulia atas segala makhluk ciptaanNya baik yang ada di permukaan bumi maupun di tempat dan alam lain yang tidak terlihat kasat mata oleh manusia. Anugrah yang sangat besar itu tidak hanya diberikan dalam bentuk fisiknya yang memang excellent, tetapi juga terlihat bahwa manusia mampu menguasai alam semesta beserta isinya. Dengan limpahan anugrah tersebutlah manusia sering kali disebut sebagai Khalifah yang secara lughawi sering diartikan sebagai wakil, pengganti, pemimpin atau penguasa . Yang ditugaskan untuk mengatur alam semesta raya sesuai dengan petunjukNya.
Berkenaan dengan tugas mulia tersebut, Allah telah membekali dan melengkapi manusia dengan berbagai senjata yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Dan tampaknya akal (ilmu pengetahuan) adalah merupakan senjata paling utama sebagai bekal hidup manusia mengarungi hidup di dunia ini baik dalam konteks dirinya sebagai khalifah maupun Abdullah. Sebagai khalifah ilmu pengetahuan sangat perlu karena hanya dengan bekal ilmu manusia akan mampu menguasai dan mengatur alam semesta, sementara sebagai Abdullah, ilmu dipandang perlu agar manusia dalam melaksanakan ibadahnya tidak terjebak pada arus doctrinal, hitam putih, dan normatif melainkan dengan melihat tuntutan situasi dan lingkungan yang mengitarinya.
Al-qur’an sebagai pedoman utama ummat Islam sering dipahami hanya sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dariNya. Tidak salah jika ummat Islam di era modern saat ini pun lebih banyak mengkaji dan mendiskusikan al-Qur’an hanya dalam kawasan fiqh dan muamalah tetapi sangat jarang ditemukan mereka yang mengkaji al-Qur’an dengan persfektif ilmu pengetahuan (sains). Padahal jika dikaji lebih mendalam, al-Qur’an sesungguhnya memberikan proporsi yang lebih terhadap kajian keilmuan dibandingkan permasalahan hukum. Menurut hasil kajian Agus Purwanto bahwa proporsi ayat kauniyah dalam al-Qur’an berjumlah lebih banyak 800 ayat berbanding dengan tidak lebih 150 ayat-ayat hukum.
Meski ayat-ayat hukum hanya berjumlah seperlima dari ayat kauniyah, tetapi telah banyak menyedot hampir semua energi ulama dan ummat Islam. Sebaliknya ayat-ayat kauniyah meskipun berjumlah sangat banyak tetapi terabaikan. Sains sebagai perwujudan normatif dari ayat-ayat kauniyah seolah-olah tidak terkait dan tidak mengantar orang Islam ke surga atau neraka sehingga tidak pernah dibahas baik diwilayah keilmuan maupun pengajian-pengajian .
Padahal sesungguhnya dengan mengkaji ayat-ayat kauniyalah manusia dapat mendekatkan dirinya lebih dekat kepada Allah. Karena dengan mempelajari pola-pola ciptaaNya secara tidak langsung akan menuntun pada ketakjuban ciptaan yang akan menuntun pada pencipta yang sangat luar biasa yaitu Allah SWT. berdasar kesadaran itulah perlu untuk saat ini ummat Islam sadar dan kembali kepada al-Qur’an dengan cara kembali mempelajari dan menghidupkan pancingan-pancingan sains yang diberikan Allah swt sebagai bekal menjadi pemimpin dunia yang semakin modern.
Berbicara masalah al-Qur’an, menurut Munawar Ahmad Anees salah satu gagasan yang paling canggih, sangat konfrehensif, dan mendalam yang dapat ditemukan di dalamnya adalah konsep “ilmi” sesungguhnya kepentinganya hanya berada di bawah konsep tauhid, yang merupakan tema sentral dan konsep mendasar al-Qur’an . Hal ini mengindikasikan peranan ilmu sangat urgen untuk deketahui oleh ummat manusia sebagai pengemban amanah menjadi wakil Allah di permukaan bumi.
Menurut Anees lebih jauh, konsep ilmi tersebut membedakan pandangan –dunia Islam dari cara pandang dan idiologi lain: tidak ada pandangan dunia lain yang menjadikan pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial dan memberikan arti moral dan religius riset setara ‘ibadah, karena ilmi berfungsi sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban muslim. Dalam sejarah peradaban muslim, konsep ‘ilmi secara mendalam meresap ke seluruh lapisan masyarakat dan mengungkapkan dirinya dalam semua upaya intelektual. Tidak ada peradaban lain dalam sejarah yang memiliki konsep “pengetahuan” dengan semangat yang sedemikian tinggi dan mengejarnya dengan sangat tekun seperti itu.
Penjelasan singkat di atas, memberikan gambaran bahwa manusia dituntut mampu menguasai beragam keilmuan yang menunjang tugasnya sebagai khalifah di bumi.
Dengan hal-hal tersebut, dirasa mustahil untuk meninggalkan sains sebagai sebuah kajian. Secara sederhana, sains dapat dikatakan sebagai produk manusia dalam menyibak realitas. Terkait dengan pengertian ini, maka sains juga menjadi tidak tunggal; atau dengan kata lain, akan ada lebih dari satu sains, dan sains satu dengan yang lain dibedakan pada apa makna realitas dan cara apa yang dapat diterima untuk mengetahui realitas tersebut. Setiap bangunan ilmu pengetahuan atau sains selalu berpijak pada tiga pilar utama, yaitu pilar ontologis, aksiologis, dan epistemologis.
Ketiga pilar sains Islam ini harus dibangun dari prinsip tauhid yang tersari dalam kalimat la ilaha illallah dan terdiskripsi dalam rukun iman dan rukun Islam. Pilar ontologis, yakni hal yang menjadi subjek ilmu. Islam harus menerima realitas material maupun nonmaterial sebagaimana QS. Al-Haqqah (69) : 38-39
        
38. Maka aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat.
39. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat.
Makhluk tidak dibatasi oleh yang material dan terindra, tetapi juga yang inmaterial. Tatanan ciptaan atau makhluk terdiri dari tiga keadaan fundamental, yaitu keadaan material, psikis, dan spiritual. Dalam bahasa kaum sufi, tiga keadaan ini masing-masing disebut alam nasut, alam malakut, dan alam jabarut.
Pilar kedua bangunan ilmu pengetahuan adalah pilar aksiologis, terkait dengan tujuan ilmu pengetahuan dibangun atau dirumuskan. Tujuan utama ilmu pengetahuan Islam adalah mengenal sang pencipta melalui pola-pola ciptaanNya, sebagaimana QS. Al-‘imran (3) : 191

                    • 
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Tujuan sains Islam adalah mengetahui watak sejati segala sesuatu sebagaimana yang diberikan oleh Allah SWT. Sains Islam juga bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan hukum alam, kesalinghubungan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahi.
Pilar ketiga dan terpenting adalah bagaimana atau dengan apa kita mencapai pengetahuan, pilar epistemologis. Al-Qur’an yang merupakan mukjizat terbesar nabi Muhammad saw. Sekaligus merupakan sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam. Ia merupakan pijakan bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual, melainkan juga bagi semua jenis pengetahuan. Manusia mempunyai fakultas pendengaran, pengihatan, dan hati sebagai alat memperoleh pengetahuan.
78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Manusia melalui fakultas ini memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber, meskipun demikian, sumber dari segala sumber pengetahuan tidak lain adalah Tuhan yang maha mengetahui. Salah satu sumber pengetahuan adalah al-Qur’an. Meski bukan kitab sains, al-qur’an mempunyai fungsi pentunjuk kepada ummat manusia secara keseluruhan sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam ayatNya

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…….(QS. Al-Baqorah [2] : 185.

Selain itu al-Qur’an juga sebagai penerang bagi seluruh ummat manusia tanpa pandang bulu sebagaimana QS. Al-imran (3) : 138

(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
Fungsi petunjuk al-Qur’an ini juga berlaku bagi konstruksi ilmu pengetahuan dengan member petunjuk tentang prinsip-prinsip sains, yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Artinya, dalam epistimologi Islam wahyu dan sunnah dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu pengetahuan. Jelas hal ini bertentangan dengan sains modern yang pada awal kelahirannya dengan terang-terangan memproklamasikan perlawanan terhadap doktrin religious gereja, dan wahyu tidak mendapat tempat dalam bangunan sains.
Sains modern bahkan mengabaikan dan menyangkal segala aspek metafisik, spiritual, dan estetis jagat raya. Eddington dan Whitehead menyatakan dengan tepat bahwa sains modern adalah jenis pengetahuan yang dipilih secara subjektif karena hanya berusun dengan aspek-aspek realitas alam semesta yang dapat dipelajari oleh metode ilmiah. Sains modern dibangun hanya dengan satu metodologi, yakni metodologi ilmiah yang di dalamnya terkandung unsur logika, observasi, dan eksperimental.
Unsur logika bukanlah khas sains modern jauh sebelumnya para ilmuan dan filsuf Muslim senantiasa menggunakan logika dan memandangnya sebagai suatu bentuk hikmah, bentuk pengetahuan yang sangat diagungkan al-Qur’an. Dalam penggunaan logika di kalangan sarjana Muslim, terdapat istilah Burhan, istilah yang menunjukkan metode ilmiah demonstrasi atas bukti demonstrative. Al-Ghazali menyatakan bahwa istilah mizan yang biasa diterjemahkan timbangan merujuk antara lain pada logika. Artinya logika adalah timbangan yang dengannya manusia menimbang ide-ide dan pendapat-pendapat untuk sampai pada penilaian yang benar.
Seperti halnya logika, observasi dan eksperimentasi sudah tersebar luas di kalangan sarjama Muslim jauh sebelum masa sains modern. Sebagaimana luasnya penggunaan logika tidak membawa pada rasionalisme sekuler yang memberontak kepada Tuhan, luasnya praktik eksperimental tidak mengiring pada empirisme yang memandang pengalaman inderawi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Karena itu, sebagai satu cara empiris untuk mengetahui sesuatu, metode ilmiah saind modern sulit dibedakan dari metode ilmiah sains Islam.
Dalam tataran ini, epistemologi sains Islam adalah epistemology sains modern plus atau diperluas, yakni plus penerimaan wahyu sebagai sumber informasi dan plus metodologi yang tidak tunggal atau kemajemukan metodologi seperti penerimaan metode ta’wil. Metode terakhir ini terkait dengan upaya penyingkapan realitas lebih tinggi. Yang hanya mungkin jika pikiran tercerahkan oleh cahaya iman dan disentuh oleh keberkatan yang tumbuh dari wahyu karena ruh ditiupkan kepada yang menginginkannya. Bagi ilmuan muslim, adalah hal yang niscaya untuk sering berdoa meminta pertolongan Tuhan dalam memecahkan masalah-masalah ilmiah maupun filosofisnya. Karena itu, dapat dimengerti mengapa penyucian jiwa dipandang sebagai bagian yang terpadu dari metodologi pengetahuan Islam.
Dengan penjelasan di atas, sebagai generasi muda muslim sudah saatnyalah kita kembali menjadi pendobrak pembangunan sains di dunia Islam. Oleh karena itu, setiap muslim harus berbondong-bondong memasuki dunia sains terlebih dahulu. Harus ada dalam jumlah yang cukup besar anak-anak muda Islam yang terjun, bergelut dengan tekun dan bekerja secara konsisten dan total sebagai ilmuan di laboratorium-laboratorium. Tanpa itu, belum saatnya ummat Islam bermimpi muncul dan berkembangnya sains di dunia Islam, baik sains modern apalagi sains Islam.
Karena aspek ontologis maupun aksiologis telah tersimpan secara inheren dalam jiwa setiap muslim, maka jalan bagi seorang muslim untuk menguasai dan membangun sains muslim dibedakan pada pelibatan wahyu sebagai sumber inspirasi dan doa bagi terjadinya akselerasi perolehan ilham atau wahyu.
Para pemuda Islam tidak perlu bimbang dengan sains apa yang akan digelutinya. Silahkan geluti bidang sains yang sesuai denga minat, sesuai dengan panggilan hati. Seluruh ciptaan pada dasarnya telah tunduk pada kehendak Ilahi.
Q.S. ar-Rum [30] : 26

Sejarah ilmu pengetahuan telah membuktikan kebenaran ketundukan ciptaan kepada sang pencipta. Klaim kepensiunan dan ketiadaan Tuhan para filsuf dan ilmuan ateis yang menyandarkan argumennyapada fisika klasik akhirnya dipungkiri sendiri oleh sains, bahkan yang lebih terang-terangan memperlihatkan hal tersebut adalah ilmu Fisika modern. Ilmu ini telah memperlihatkan dengan jelas bahwa Tuhan tidak pension melainkan terus menerus mencipta, menghancurkan, dan mengulangi aksi penciptaan makhlukNya. Tuhan tidak mati melainkan terus-menerus bahkan sangat sibuk dengan penyelenggaraan tatanan ciptaanNya.
Wahai ummat manusia (khususnya Muslim) ketahuilah, tanpa sains kita tidak akan pernah mampu mengelola sumber daya alam yang umumnya melimpah di negeri-negeri Muslim. Tanpa sains, kita hanya akan menjadi konsumen yang bergantung dan akhirnya mudah didikte orang lain. Akan tetapi dengan pengetahuan di tangan kitam maka tugas khalifah yang diamanahkan Allah kepada kita akan dapat kita laksanakan dengan baik tanpa mengecewakan sang Khalik sebagai pemberi amanah.
Selanjutnya, untuk menyempurnakan potensi yang diberika Allah tersebut. Manusia juga dibekali ayat-ayat sebagai bacaan untuk mengelola dunia dengan baik. Ayat-ayat ini menurut ulama dikategorikan dalam dua hal yakni ayat-ayat kauliayah yakni firman-firman Allah dalam bentuk al-Qur'an dan ayat-ayat kauniyah, yakni tanda-tanda yang bertebaran di sekira manusia yang dapat dipelajari berupa alam yang membentang luas.
Sehubungan dengan ayat-ayat kauniyah, Allah swt pun sudah membeberkan dengan jelas dalam firman-firmanNya yang terangkum dalam ayat-ayat al-Qur'an. Beberapa hal tersebut dalam kita lihat misalnya:
1. Air : sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia sudah dijelaskan dengan sangat gamblang di dalam firmanya. Diantarannya QS 2 :74; QS 7:160; QS 2:164; QS 25:48; QS 31:10; QS 29:63; QS 43:11; QS 11:43,44; QS 17:90; QS18:41; QS21:30; QS 22:63 dan lain sebagainya
2. Alam : QS 30:30; QS 35:21; QS 48:23; QS 79:6
3. Anggur : QS 6:99; QS 13:4; QS 16:11; QS 18:32; QS23:19; QS 36:64; QS 80:28; QS 16:67; QS 18:32; QS 78:32
4. Angin : QS 2:164, 266; QS 3:117; QS 7:57, 133; QS 35:9; QS 10:22; QS 30:46; QS 15:22; 17:69; QS 21:18; QS34:12; QS 22:31. dll
5. Angka : QS 9:36; QS 10:5; QS17:12; QS 21:47; QS 23:17; QS24:39; QS 29:14; QS 72:25; QS 78:12; QS 89:2,3.
Dan beberapa ayat lain misalnya. Ayat-ayat tentang Anjing, Api, Bangunan, Batang, Batu, Bawang, Bayangan, Bencana, Benda, Besi, Biji, Bintang, Buah-buahan, Bukit, Bulan, Bumi dan Langit, Burung, Cahaya, Cipta, Dada, Darah, Darat, Daun, Debu, Delima, Dinding, Domba, Emas, Fajar, Fatamorgana, Gajah, Gelap, Gelombang, Gempa, Gua, Gunung, Guruh, Haid, Halilintar, Hewan, Hidup, Hujan, Ikan, Jehe, Jiwa, Kabut, Kaca, Kacang, Kambing, Kapal, Kayu, Keledai, Ketimun, Khamar, Kiamat, Kilat, Kuda, Kulit, Kurma, Laba-laba, Lalat, Langit, lubang, Malam, Siang, Musim, Matahari, Negeri, Nyamuk, Mutiara, Ombak, Pasangan, Sungai, Semut, Selam, Susu, Tahu, Simetri, Suara, Subuh, Tanah, Tanah, dan masih banyak lagi hal-hal yang mungkin sederhana dan kecil karena telah menjadi pemandangan kita sehari-hari ternyata jika benar-benar diperhatikan dan diambil pelajaran darinnya akan menuntun manusia manjadi amanah atas tugas mulai yang diembankan oleh Allah swt kepadanya.
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis memiliki harapan besar semoga ummat dan para ulama tidak lagi hanya menghabiskan waktunya untuk membahas persoalan-persoalan fiqh yang seringkali membawa perseteruan dan pertengkaran. Sudah saatnya ummat Islam tidak lalai atas fenomena-fenomena yang ada disekitarnya sebagai perwakilan Allah yang diberikan kepada manusia untuk dijadikan pelajaran. Misalnya fenomena terbitnya matahari,beradarnya bulan dan kelap-kelipnya bintang, aneka tumbuhan yang indah, binatang-bintang yang bertebaran dan lain sebagainya.
Selama ini selain ummat Islam banyak disibukkan dengan urusan fiqh, pengalaman dan pengamalan keagamaan kita memang cenderung esoteris dan mengabaikan serta meremehkan akal. Padahala secara empirik, akal sangat powerfull. Al-Qur'an sendiri tidak kurang dari 43 kali menggunakan kata akal dalam bentuk verbal seperti afala ta'qilun, dan sepuluh ayat lainya menggunakan kata verbal pikir seperti la'allakum tafakkarun. Ayat-ayat ini adalah teguran bagi manusia untuk dapat menggunakan akal secara maksimal dan seoptimal mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Purwanto, Ayat-Ayat Fisika, Mizan, Bandung, 2008
Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur’an, Bandung:Mizan, 1996
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata, Magfirah Pustaka, Jakarta, 2009
Al-Qur’an dan Terjemah, PT Sabiq, Tangerang, 2008
Khulqi Rashid, al-Qur’an Bukan Da Vinci’s Code, Hikmah, Jakarta, 2007
Majalah Matan, edisi 40. PWM Jatim, Surabaya, 2009
Majalah Nurani, Vol. 53/IV/10. LSIK UMM, Malang, 1995
M. Quraish Shihab. Vol.I. Tafsir al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati, 2006

Tidak ada komentar: