Jumat, 04 Mei 2012

CTL sebagai Salah Satu Usaha Pendekatan Pembelajaran PAI


1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)
Kata kontekstual (contextual) berasal dari kata context yang berarti ”hubungan, konteks, suasana dan keadaan (konteks)”. Dengan demikian Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu. Secara umum contextual mengandung arti : Yang berkenan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks; Yang membawa maksud, makna, dan kepentingan .
Adapun pengertian CTL menurut Depdiknas adalah .....sebagai berikut : “Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari–hari” .
Dengan pengertian di atas disimpulkan bahwa Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran atau lebih dikenal dengan istilah Contextual Teching and Learning (CTL) merupakan sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya . Lebih mudah memahaminya bahwa pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah sebuah konsep pembelajaran yang membantu pendidik untuk mengaitkan antara materi ajar dengan situasi dunia nyata peserta didik, hal ini untuk mendorong peserta didik membuat hubungan antara yang mereka pelajari dengan penerapanya dalam kehidupan mereka (peserta didik) sebagai anggota keluarga dan masyarakat. pengertian ini memberikan gambaran kepada kita bahwa yang menjadi titik tekan dalam pembelajaran dengan pendekaran CTL adalah bagaimana menemukan sebuah makna dalam materi yang sedang dipelajari serta apa mamfaat dan bagaimana mencapainya.

2. Peran Guru dalam Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Dalam pembelajaran Contextual Teaching and Learning tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadahi. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hafalan semata, melainkan mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar dengan serius dan menyenangkan. Lingkungan yang kondusif sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual dan keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan. Pentingnya lingkungan dalam pembelajaran kontekstual dikemukakan oleh Nurhadi sebagai berikut:
a. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru acting didepan kelas, siswa menonton ke siswa aktif bekerja dan berkarya guru mengarahkan.
b. Pembelajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
c. Umpan balik amat dipentingkan bagi siswa yang berasal dari proses penilaian (asesment) yang benar.
d. Menumbuhkan komunitas belajar dan berikut kerja kelompok .
Hal lain yang perlu diketahui seorang guru adalah bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual banyak dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut bisa datang dari dalam diri peserta didik (internal), dari luar dirinya atau dari lingkungan di sekitarnya (eksternal). Sehubungan dengan hal tersebut Zahorik mengungkapkan lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual .
a. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
b. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
c. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara:
1. Menyusun konsep sementara;
2. Melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain;
3. Merevisi dan mengembangkan konsep
d. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekkan secara langsung apa-apa yang dipelajari
e. Adannya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari
Peran lain yang harus dimiliki seorang guru dalam menunjang keberhasilan sebuah pembelajaran adalah :
1. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa.
2. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung.
3. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri.
4. Mempertimbangkan keragaman siswa.
5. Memperhatikan multi intelengia siswa.
6. Menggunakan tehnik-tehnik bertanya yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi.

3. Komponen-komponen Pembelajaran CTL
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning) masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Ketujuh komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Konstruktivisme
Pengertian konstruktivisme menurut Wina Sanjaya adalah “Proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman”. Menurut pengembang filsafal konstruktivisme Mark Baldwin dan diperdalam oleh Jean Piaget dalam Wina Sanjaya menyatakan bahwa “Pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.
Siswa perlu dikondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal–hal yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan gagasan–gagasan. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan dapat dijadikan milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran.
Menurut Suparno secara garis besar prinsip– prinsip konstruktivisme yang diambil adalah : 1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial. 2) Pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan kearifan siswa sendiri untuk bernalar. 3) Siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah. 4) Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.

b. Inkuiri
Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Proses menemukan inilah yang dirangsang secara optimal lewat penerapan strategi pembelajaran CTL. Karena strategi pembelajaran CTL menekankan keaktifan siswa dalam menemukan sendiri pengetahuan. Dengan demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang hatus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.
Ada beberapa langkah yang dapat digunakan dalam kegiatan inkuiry yang dapat dipraktekkan dalam kelas :
1. Merumuskan masalah
2. Mengamati dan melakukan observasi
3. Menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan bagan, tabel dan karya lainnya.
4. Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain.

c. Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam bepikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Cara guru memancing siswa untuk bertanya akan dapat tereksplorasi dengan baik. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan–pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang di pelajarinya. Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk : menggali informasi, baik administrasi maupun akademis; mengecek pemahaman siswa; membangkitkan respon siswa; mengetahui sejauhmana keingintahuan siswa; mengetahui hal–hal yang sudah diketahui siswa; memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang di kehendaki guru; untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. Kegiatan ”bertanya” menjawab permasalahan gaya pendidikan lama yang menganggap bahwa ”tong kosong nyaring bunyinya” atau ”berbicara adalah perak tetapi diam adalah emas”.
Banyak bertanya sering kali tidak ditanggapi dengan positif oleh guru maupun teman–teman. Kelas bukan merupakan tempat yang aman untuk ”berbuat kesalahan” dan eksplorasi. Anak kecil dalam kepoloson belajarnya justru sering kali bertanya banyak hal yang terkadang membingungkan orang tua seperti ” kenapa langit warnanya biru ? bagaimana adik bisa berada di perut ibu ?”. Sekali lagi seiring perjalanan pendidikan kita, kepolosan dan kekritisan tidak semakin terasah tetapi justruh sebaliknya. Siswa menjadi malas dan bahkan apatis terhadap kegiatan belajar yang dirasa sebagai siksaan.

d. Masyarakat belajar (Learning Community)
Leo Semenovich Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang bannyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat di pecahkan sendiri, tetapi mebutuhkan bantuan orang lain. Kerjasama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajarn deperoleh melalui kerjasama dengan orang lain.
Kerjasama itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam kelompok belajar secara formal maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman, antar kelompok; yang sudah tahu memberi tahu kepada yang belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamannya kepada orang lain. Inilah hakekat dari masyarakat belajar, masyarakat yang saling membagi. Belajar yang baik adalah bersifat sosial. Satu relaah di Standvord University menemukan bahwa bimbingan belajar dari kawan itu empat kali lebih efektif untuk meningkatkan prestasi di bidang matematika dan membaca dibandingkan jika jumlah murid dalam kelas dikurangi atau waktu pengajaran di perpanjang dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan instruksi individual dengan komputer.
Model pembelajaran dengan teknik Learning Community sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Prakteknya dalam pembelajaran terwujud dalam :
1) Pembentukan kelompok kecil;
2) Pembentukan kelompok besar;
3) Mendatangkan ”ahli” ke kelas (tokoh, agamawan dll);
4) Bekerja dengan kelas sederajat;
5) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya;
6) Bekerja dengan masyarakat.


e. Pemodelan (Modeling)
Yang dimaksud dengan asas modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya : Guru memberikan contoh bagaimana cara melafalkan sebuah ayat-ayat al-Qur’an yang benar dan lain sebagainya.
Proses modeling tidak sebatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang dinggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam lomba cerdas cermat dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman–temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.

f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru di pelajari atau berpikir ke bel`kang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengalaman yang baru diterima. Pengetahuan diperoleh melalui proses, pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan–hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Refleksi menjawab pertanyaan kaum behaviorisme yang memisahkan aspek jasmani manusia dengan aspek rohaninya. Selama ini siswa menjalani pembelajaran dengan statis dan tanpa variasi. Jarang sekali mereka diberi kesempatan untuk ”diam sejenak” dan berpikir tentang apa yang baru saja mereka lakukan atau pelajari. Waktu amat cepat berlalu, semua terburu–buru dan mungkin memang tidak sempat melakukannya.


g. Penilaian nyata (Authentic Assessment)
Proses pembelajaran konvensional yang sering dilakukan guru pada saat ini, biasanya ditekankan pada aspek intelektual sehingga alat evaluasi yang digunakan terbatas pada penggunaan tes. Dengan tes dapat diketahui seberapa jauh siswa telah menguasai materi pelajaran. Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hannya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab itu, penilaian keberhasilan tidak hannya ditentukan oleh aspek hasil belajar seperti tes, akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata. Penilaian nyata (Authentic Assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa benar–benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang posirif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar .
Secara ringkas tujuh komponen CTL dan kelemahan pembelajaran tradisonal dapat disusun dalam tabel berikut .
No Komponen
Indikator Masalah Pendekatan CTL Pendekatan Tradisional
1 Konstruktivisme Belajar berpusat pada siswa untuk mengkonstruksi bukan menerima Belajar yang berpusat pada guru, formal, serius
2 Inquiri Pengetahuan diperoleh dengan menemukan, menyatukan rasa, karsa dan karya Pengetahuan diperoleh siswa dengan duduk manis, mengingat seperangkat fakta, memisahkan kegiatan fisik dengan intelektual
3 Bertanya Belajar merupakan kegiatan produktif, menggali informasi, menghasilkan pengetahuan dan keputusan Belajar adalah kegiatan konsumtif, menyerap informasi menghasilkan kebingungan dan kebosanan
4 Masyarakat Belajar Kerjasama dan maju bersama, saling membantu Individualistis dan persaingan yang melelahkan
5 Pemodelan Pembelajaran yang Multi ways, mencoba hal – hal baru, kreatif Pembelajaran yang One way, seragam takut mencoba, takut salah
6 Refleksi Pembelajaran yang komprehensif, evaluasi diri sendiri/internal dan eksternal Pembelajaran yang terkotak – kotak, mengandalkan respon eksternal/guru
7 Penilaian Otentik Penilaian proses dan hasil, pengalaman belajar, tes dan non tes multi aspects Penilaian hasil, paper and pencil test, kognitif

Sebuah pembelajaran dapat dikatakan menggunakan pendekatan CTL manakalah dalam pembelajarannya telah menggunakan tujuh komponen sebagimana telah disebutkan di atas. Adapun metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran CTL sebagaimana diungkapkan Endang Ekowati adalah sebagai berikut:
1. Example non examples
2. Picture and picture
3. Numbered heads Togather
4. Cooperative Script
5. Kepala bernomor strukture ( Modifikasi Numbered Heads)
6. Students teams-acheavement divition
7. Problem Based Introduction
8. Artikulasi
9. Mind Mapping
10. Snowball Throwing
11. Bertukar Pasangan
12. Talking Stik
13. Group Investigation
14. Explisit Introduction
15. Role Playing
16. Debat
17. Think Pair and Share
18. Make-A Math
19. Student Facilitator ang Explaining
20. Course Review Horey
21. Cooperative Integrated Reading ang Composition.
22. InsideOutside-Circle (Spenser Kagam)
23. Tebak Kata
24. Kartu Arisan
25. Word Square
26. Scrabble
27. Take ang Give
28. Consept Sentence
29. Jigsaw ( Model Tim Ahli)

1. Penerapan Contextual teaching and Learning (CTL) Pada Pembelajaran PAI di Kelas
Implementasi Kurikulum 2004 dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam sangat tergantung pada penguasaan guru akan materi dan pemahaman mereka dalam memilih metode yang tepat untuk materi tersebut. Salah satu pendekatan yang saat ini dianggap tepat dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah pendekatan CTL. Salah satu unsur terpenting dalam penerapan pendekatan CTL adalah pemahaman guru untuk menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi, fenomena yang ada menunjukkan sedikitnya pemahaman guru – guru PAI mengenai strategi ini. Oleh karena itu diperlukan suatu model pengajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual yang mudah dipahami dan diterapkan oleh para guru Pendidikan Agama Islam di dalam kelas secara sederhana .
Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi disekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok
Dalam kurikulum 2004, guru PAI dapat menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa, lebih mengaktifkan siswa dan guru, mendorong berkembangnya kemampuan baru, menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat. Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi untuk belajar.
Beberapa hal yang harus diperhatikan para guru Pendidikan Agama Islam dalam mengimplementasikan pendekatan kontekstual :
1. Pembelajaran Berbasis Masalah
Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah mengobservasi suatu fenomena, misalnya:
a. Menyuruh siswa untuk menonton VCD tentang kejadian manusia, rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, tentang Alam Akhirat, azab Ilahi , dan sebagainya.
b. Menyuruh siswa untuk melaksanakan shaum pada hari senin dan kamis, membayar zakat ke BAZ, mengikuti shalat berjamaah di masjid, mengikuti ibadah qurban, menyantuni fakir miskin
Langkah kedua yang dilakukan oleh guru adalah memerintahkan siswa untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah menonton VCD atau mendengarkan kisah-kisah Al Qur`an, siswa diharuskan membuat catatan tentang pengalaman yang mereka alami, melalui diskusi dengan teman-temannya. Setelah mengamati dan melakukan aktivitas keagamaan siswa diwajibkan untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul serta mereka dapat mengungkapkan perasaannya kemudian mendiskusikan dengan teman sekelasnya.
Langkah ketiga tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan yang ada.
Langkah keempat guru diharapkan mampu untuk memotivasi siswa agar mereka berani bertanya, membuktikan asumsi dan mendengarkan pendapat yang berbeda dengan mereka.

2. Memanfaatkan Lingkungan Siswa untuk Memperoleh Pengalaman Belajar
Guru memberikan penugasan kepada siswa untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan konteks lingkungan siswa, antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan penugasan kepada siswa di luar kelas. Misalnya mengikuti shalat berjamaah, mengikuti shalat jum`at, mengikuti kegiatan ibadah qurban dan berkunjung ke pesantren untuk mewawancarai santri atau ustadz yang berada di pesantren tersebut. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung dari kegiatan yang mereka lakukan mengenai materi yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran

3. Memberikan Aktivitas Kelompok
Di dalam kelas guru PAI diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok belajar. Siswa di bagi kedalam beberapa kelompok yang heterogen. Aktivitas pembelajaran kelompok dapat memperluas perspektif dan dapat membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain.
4. Membuat Aktivitas Belajar Mandiri
Melalui aktivitas ini peserta didik mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi sendiri dengan sedikit bantuan atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).
5. Menyusun Refleksi
Dalam melakukan refleksi, misalnya ketika pelajaran berakhir siswa merenungkan kembali pengalaman yang baru mereka peroleh dari pelajaran tentang shalat berjama`ah.

2. Evaluasi Pembelajaran PAI dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL).
Tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pengajaran) bertujuan untuk mengembangkan tiga hal yaitu: cipta, rasa, dan karsa. Tiga hal ini disebut Trisakti. Konsep trisakti ini sejalan dengan konsep tujuan pendidikan yang dikemukakan Benyamin S. Bloom dengan kawan-kawannya pada tahun 1956. Sejak kurikulum 1975 sekolah di Indonesia, mengembangkan programnya dengan mengacu pada pola Bloom yang menyatakan bahwa pendidikan/pengajaran bertujuan untuk mengembangkan tiga ranah (kawasan) yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terdapat pada diri manusia. Sasaran masing-masing ranah ini yaitu otak, hatinurani, dan panca indra. Jadi guru yang profesional dalam kegiatannya sehari-hari di kelas adalah berupaya untuk mencerdaskan/mengasah otak anak didiknya, membina kepribadian sesuai dengan norma yang berkembang dalam masyarakat, serta melatih agar panca indra (mata, telinga, hidung, lidah, kaki, dan tangan) menjadi terampil .
Untuk mengetahui sejauhmana kegiatan guru telah berhasil atau tidak perlu dilakukan sebuah pengukuran. Dalam mengukur sesuatu diperlukan sebuah alat ukur yang relevan dengan hal yang diukur tersebut. Dalam hal pendidikan guru tidak hanya memiliki satu jenis alat ukur karena dalam tugas sehari-hari tidak hanya mengukur hasil belajar tetapi juga mengukur apa yang telah diketahui peserta didik sebelum mereka mengikuti pembelajaran. Selain itu juga perlu mengukur kesulitan yang dialami peserta didik dalam mengikuti pembelajaran. Metode apa yang cocok diterapkan dalam pembelajaran dan sebagainya. Beberapa alat ukur yang dapat digunakan oleh guru antara lain:
1. Tes Prestasi Belajar (TPB) adalah alat ukur yang mampu menentukan seberapa banyak pelajaran yang telah diikuti dapat dikuasai/diserap oleh peserta didik. Bahan yang ditanyakan dalam TPB adalah semua materi yang pernah diberikan, dilatihkan dan didiskusikan guru dan peserta didiknya.
2. Tes Hasil Belajar (THB) adalah alat ukur yang mampu menentukan kemampuan seseorang setelah mengikuti pembelajaran. Materi yang ditanyakan tidak hanya mengenai apa yang diperoleh dari guru tetapi juga mengenai hal-hal di luar yang diberikan, dilatihkan, dan didiskusikan dengan guru, tetapi meliputi semua aspek penbentukan watak peserta didik. Dengan kata lain termasuk materi yang dipelajari dari lingkungan yang terkait dengan pembelajaran dari guru
3. Tes Seleksi atau Tes Penempatan adalah alat ukur yang digunakan untuk memilih peminat sesuai dengan sifat program atau pekerjaan yang akan dimasuki. Materi yang ditanyakan dalam tes ini erat hubungannya dengan kekhususan program atau pekerjaan tersebut.
4. Tes Formatif adalah alat ukur yang digunakan untuk mengetahui apakah tingkat penguasaan peserta didik sudah cukup menguasai materi yang baru saja dibelajarkan. Bahan pertanyaan berasal dari materi yang telah disampaikan dan pelaksanaan tes dilakukan segera setelah pembelajaran diselesaikan. Jik hasil pengukuran kurang dan cukup, guru harus memperbaiki proses pembelajaran sehingga tingkat penguasaan menjadi lebih baik
5. Tes Sumatif adalah alat ukur yang digunakan untuk mengetahui sejauhmana taraf serap peserta didik atas bahan yang telah disampaikan selama ini. Kalau materi yang telah diajarkan cukup banyak, maka materi tes dipilih secara proporsional. Hasil tes sumatif digunakan untuk menentukan tingkat penguasaan peserta.
6. Tes Diagnostik adalah alat ukur yang dirancang khusus untuk mengetahui faktor penyebab peserta didik sukar menguasai materi pembelajaran tertentu. Materi yang ditanyakan dalam tes ini meliputi prasyarat yang harus diketahui untuk menguasai konsep/materi pembelajaran. Pelaksanaan tes diagnostik dilakukan setelah hasil tes normatif diketahui
7. Tes Awal (pre-test) adalah alat ukur yang diberikan kepada peserta didik sebelum pembelajaran dimulai. Hasil tes awal digunakan untuk memilah-milah materi yang akan diajarkan dalam rangka efesiensi waktu. Materi yang sudah dikuasai semua peserta, tidak akan dimasukkan sebagai bahan pembelajaran dan diganti dengan materi lain yang belum dikuasai peserta didik .
Evaluasi dengan pembelajaran CTL tidak lepas dari tiga ranah yang dirumuskan oleh Bloom yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Saat ini proses pembelajaran konvensional masih menjadi pilihan utama guru dalam pembelajarannya yang biasanya hanya ditekankan pada aspek intelektual sehingga alat evaluasi yang digunakan terbatas pada penggunaan tes. Dengan tes diharapkan diketahui seberapa jauh siswa telah menguasai materi yang diajarkan. Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak hannya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab itu, penilaian keberhasilan tidak hannya ditentukan oleh aspek hasil belajar seperti tes, akan tetapi juga proses belajar melalui penilaian nyata. Penilaian nyata adalah termasuk proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui apakah siswa benar–benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan perilaku, intelektual maupun mental siswa. Penilaian semacam ini dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran sehingga harus dilakukan secara terus–menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar .

Tidak ada komentar: