Jumat, 04 Mei 2012

Al-Azhar Sebagai Madrasah Tinggi Islam Pertama dan Tertua

Pendahuluan
Berbicara al-Azhar, pandangan kita tertuju pada sebuah lembaga pendidikan Islam tertua yang hingga saat ini masih menjadi rujukan masyarakat untuk menimba ilmu-ilmu keislaman secara khusus dan ilmu-ilmu umum secara global.
Sebagai institusi pendidikan, al-Azhar memiliki banyak peran penting mencetak dan mengantarkan alumni-alumninya menjadi orang-orang penting dalam berbagai bidang kehidupan.
Awal didirikannya pada masa Dinasti Fatimiyah1 di Mesir. Al-Azhar adalah......
bangunan masjid yang tidak berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya yang sudah ada pada saat itu. Namun, al-Azhar selain sebagai tempat ibadah juga digunakan untuk menanamkan faham syi’ah Ismailiyah. Dengan mazhab Syi’ah yang dikembangkan inilah masjid al-Azhar menjadi pencetak dan penguat Dinasti Fatimiyah. Pada masa ini masjid menjadi tempat berkumpulnya ulama fikih khususnya ulama Syi’ah Ismailiyah juga para wasir dan hakim. Hingga kemudian berubah pada dinasti Ayyubiyah yang berfaham sunni.
Bagaimana pergeseran fungsi masjid menjadi sarana menanamkan faham syiah Ismailiyah hingga kemudian berganti ke faham sunni, serta jatuh bangunnya lembaga ini hingga mampu bertahan dan menjadi rujukan para pencari ilmu, perlu dikaji untuk melihat, mempelajari dan mengambil aspek-aspek penting yang dapat digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini.
Oleh karena cakupan pembahasan al-Azhar begitu luas maka dalam makalah ini penulis hanya membatasi kajian pada beberapa hal berikut. Pertama, Sejarah berdirinya al-Azhar. Kedua, fase reformasi al-Azhar. Dan Ketiga, al-Azhar di zaman modern.
  1. Sekilas tentang berdirinya al-Azhar
Al-Azhar, perguruan tinggi Islam yang menjadi bukti monumental peradaban Islam di Mesir pada awalnya adalah bangunan masjid yang tidak berbeda dengan Masjid-masjid lain pada umumnya yang ada pada saat itu2. Masjid al-Azhar dibangun oleh panglima Jauhar As Siqli pada 969 M di bawah arahan Khalifah Al-Muizz. Selain itu atas perintah Al-Muiz, Jauhar As Siqli mendirikan kota baru yang disebut Al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan. Tujuan pendirian ibu kota itu adalah untuk menampung keperluan administrasi pemerintah dan tentara Berber. Kota Kairo pada masa-masa selanjutnya dijadikan sebagai ibu kota Khilafah Fatimiyah. Dari Al-Qohirah inilah atas instruksi Al-Muiz Jawhar al-Siqili membangun masjid yang didedikasikan untuk penyebaran kebudayaan, ajaran, dan pemikiran Syiah. Masjid tersebut diberi nama Al-Azhar yang pada masa-masa berikutnya berubah menjadi universitas dan didaulat sebagai universitas Islam tertua di dunia. Pembangunan masjid ini dimulai pada tanggal 17 Ramadan tahun 359 H (970 M)... pembangunan masjid ini diselesaikan pada tanggal 7 Ramadan tahun 361 H (23 Juni 972 M), merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid keempat di Mesir, setelah masjid ‘Amr ibn ‘Ash, masjid ‘Askar, dan masjid Ahmad ibn Thulun. Hal ini merupakan usaha Dinasti Fatimiyah untuk menyebarkan faham Syi’ah.3 enam tahun kemudian tepatnya pada 365 H / 976 M. mulai dibuka kegiatan belajar-mengajar dan majlis ilmu pengetahuan bermadzhab Syi’ah Ismailiyah. Pada masa itu duduk sebagai pengajar Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi, ia mengajarkan sebuah kitab al-iqtishar karya ayahnya sendiri. Kitab ini berisi masalah-masalah Fiqhiyah yang berpegang kepada iman ahlu al-Bait. Ini merupakan kelompok studi pertama di Jami’ al-Azhar. Selain Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi, saudara kandungnya yang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Nu’man pada tahun 385 H turut pula membantu mengajarkan ilmu-ilmu ahlu al-Bait.
Selain tentang ke-Fatimiyah-an pada perkembangan selanjutnya juga dipelajari ilmu-ilmu naqliyah atau syar’iyyah dan aqliyah atau hukumiyah, kadang disebut juga dengan ilmu ‘azam. Adapun yang termasuk ilmu naqliyah antara lain : fikih, hadis, tafsir, nahwu, lughah, al-bayan, adab, ilmu tafsir, ilmu qiro’at, ilmu hadis, dan ilmu kalam. Sedangkan yang termasuk ilmu aqliyah adalah: filsafat, arsitektur, ilmu nujum, musik, kedokteran, syair, kimia, matematika, sejarah, dan geografi.4
Pada awal berdirinya Jami’ al-Azhar dinamai dengan Jami’ al-Qahirah (Jami’ Kairo) sesuai dengan nama kota tempat ia berdiri. Pemakaian nama ini dapat dibuktikan secara sejarah, dimana sebagian besar pakar sejarah Mesir menyebut Jami’ ini dengan Jami’ al-Qahirah, hanya sedikit saja dari meraka yang tidak menyebutnya demikian.
Sedangkan al-Maqrizi, sejarawan muslim Mesir terbesar, kadang menggunakan nama Jami’ al- Qahirah dan terkadang juga menggunakan nama Jami’ al-Azhar. Kesimpulannya adalah bahwa pada pertengahan abad 9 H. sampai pertengahan abad 15 H. pemakaian dua nama ini menjadi sesuatu yang masih kontroversial, namun kemudian nama lama (Jami’ al-Qahirah) berlangsung memudar dan nama baru (Jami’ al-Azhar) lebih banyak dipakai sampai saat ini.
Selain perbedaan nama awal tersebut, sejarawan juga berbeda pendapat tentang sumber pengambilan kata al-Azhar. Pendapat pertama mengatakan bahwa kata al-azhar merupakan musytaq (pecahan) dari kata az-zahra, gelar Sayidah Fathimah, putri Rasul saw. dan istri Sayyidina Ali bin Abi Thalib, apalagi Dinasti Fathimiyah sendiri dinisbatkan kepada Sayyidah Fathimah az-Zahra... Sebagian kelompok sejarawan lainnya ada yang berpendapat bahwa pengambilan nama al-azhar berkaitan dengan fenomena sosio-kultural yang berhubungan dengan skema kota Kairo sendiri dahulunya. Diriwayatkan bahwa di masa khalifah al-Aziz Billah dimulailah pendirian istana-istana Bani Fathimiyah yang berdiri sangat megah dan indah-indah sehingga waktu itu istana-istana tersebut dinamai al-Qushur az-Zahirah (istana-istana yang bersinar cemerlang)... Kelompok ketiga berpendapat bahwa pemakaian nama al-Azhar adalah sebuah rasa harap dan optimis terhadap sesuatu yang akan dicapai masjid ini nantinya karena berkembangnya ilmu-ilmu di sana dan ia akan tetap menjadi pusat pengembangan dakwah syi’ah sepanjang masa kelak... Dari ketiga pendapat ini, Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad asy-Syinawi memandang pendapat pertama yang paling kuat.5
Pada perjalanan sejarahnya al-Azhar telah menduduki posisi untuk membangkitkan kehidupan peradaban Mesir terutama yang berkaitan dengan dakwah Fatimiyah sejak masa Khalifah al-Aziz Billah. Pada masa itu ummat manusia mulai bangkit semangatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu munadzarah dan mengkaji fikih Syi’ah. Jami al-Azhar saat itu telah menjadi pusat ilmu pengetahuan dengan membawa misi menyebarluaskan dakwah Fatimiyah sampai dibangunnya Jami al-Hakim bi Amirillah. Sistem halaqah-halaqah yang ada merupakan dasar studi di al-Azhar.
Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa Dinasti Fatimiyah selain membangun masjid al-Azhar antara lain:
Pada masa Khalifah Al-Hakim mendirikan sebuah lembaga riset yang dikenal dengan sebutan Dar At Hikmah (The House Of Wisdom). Lembaga tersebut didesain sedemikian , rupa untuk memberikan konstribusi terhadap kemajuan penelitian ilmiah, terutama di bidang astronomi, matematika, dan kedokteran.
Salah seorang astronom Arab terkemuka yang berasal dari lembaga ini adalah Aly Bin Yunus. Dia melakukan penelitian di Dar Al-Hikmah lebih dari 17 tahun. Sarjana Dar At-Hikmah terkenal lainnya adalah Ibn al-Haitham. Penelitiannya di bidang teknik, matematika, dan fisika mengilhami para ilmuwan Barat, seperti Roger Bacon, Kepler, dan Leornado di bidang optik.
Di bidang seni bangunan, pada masa Fatimiyah, Kota Kairo dipenuhi dengan bangunan yang memiliki gaya arsitektur yang tinggi. Jenis keramik lustreware tersebar luas selama periode Fatimiyah. Kaca dan logam juga populer saat itu. Masjid dan istana dihiasi dengan marmer dan granit. Pilar, ukiran, dan patung yang bercorak Islam banyak digunakan. Panel dekoratif dan lampu kandil dilapisi dengan batu pualam putih dalam berbagailapisan warna. Tekstil dan bordir dari Kairo juga mampu menarik minat dunia, terutama para pedagang dari Eropa. Jejak seni arsitektur Fatimiyah yang sampai saat ini masih bisa dilacak adalah bangunan Masjid Al Azhar dan Masjid Al Al-Hakim serta kawasan Khan Al-Khalili.
Di bawah Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kerajaan yang kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Sisilia, Palestina, Lebanon, Suriah, Laut Merah Afrika, Yaman, dan wilayah Hijaz. Mesir terus berkembang dan Fatimiyah memperluas jaringan perdagangan di Mediterania dan Samudra Hindia. Perdagangan dan hubungan diplomatik telah diperpanjang sampai dengan Dinasti Song, Cina, yang pada akhirnya menentukan arah ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan.
Kemajuan yang berhasil dicapai Dinasti Fatimiyah tidak terlepas dari prestasi dan ditunjang laju pertumbuhan di sektor-sektor terpenting, di antaranya militer yang kuat, administrasi pemerintahannya yang baik, ilmu pengetahuan yang berkembang, dan ekonominya yang stabil.
Setelah Dinasti Fatimiyah jatuh ke tangan Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 567 H (1171 M), maka ia mengambil kebijakan baru dengan menutup seluruh aktifitas di al-Azhar secara total bahkan dilarang digunakan untuk kegiatan apapun. Hal itu dilakukan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh Syiah yang lama dikembangkan pada masa penguasaan Dinasti Fatimiyah. Sebagai gantinya, Sholahuddin mendirikan madrasah-madrasah di sekitar Al-Azhar yang mengajarkan Islam dengan empat madzhab Sunni, yang bangunannya masih ada sampai sekarang. Al-Azhar ditutup untuk umum selama hampir satu abad lamanya yaitu selama Dinasti Ayyuby.
Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa Salahuddin al-Ayyubi antara lain:6
  1. Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar selama hampir seratus tahun, yaitu sejak tahun 567 H (1171 M) sampai masa Sultan al-Mamluki ad-Dhahir pada tahun 665 H (1266 M)
  2. Melakukan renovasi pembangunan al-Azhar oleh Amir Edmir dan Sultan Berbes atau Sultan Al-Dzohir Berbes.
  3. Al-Azhar menjadi pusat studi Islam yang amat penting, terutama ketika Kairo menjadi kiblat bagi para ulama, fuqaha, dan mahasiswa.
Perkembangan al-Azhar mencapai puncaknya ketika Baghdad sebagai pusat keilmuan di timur diporak-porandakan bangsa Mongol. Ditambah lagi jatuhnya Andalus ke tangan Franj yang beragama Kristen yang menghapuskan peradaban Islam di sana.7 Mengakibatkan para ulama dan penuntut ilmu mengalihkan kiblat rujukannya pada al-Azhar di Mesir yang pada waktu itu termasuk daerah Islam yang aman.
Dengan berkumpulnya para ulama dan penuntut ilmu dari berbagai daerah khususnya Baghdad dan Andalus menjadikan al-Azhar sebagai pusat keilmuan yang berkembang besar hingga saat ini.
  1. Fase Reformasi
Pembaharuan administrasi pertama al-Azhar dimulai pada masa pemerintahan sultan ad-Dhahir Barquq (784 H/1382 M) dimana ia mengangkat amir Bahadir at-Thawasyi sebagai direktur pertama al-Azhar tahun 784 H/1382 M. ini terjadi dalam masa kekuasan Mamalik di Mesir. Upaya ini merupakan usaha awal untuk menjadikan al-Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti pemerintah.
Sistem ini terus berjalan hingga pemerintahan Utsmani menguasai Mesir di penghujung abad 11 H. ditandai dengan pengangkatan Syeikh al-Umumy yang digelar dengan syeikh al-Azhar sebagai figur sentral yang mengatur berbagai keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hukum termasuk tempat mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih syeikh Muhammad al Khurasyi (1010 – 1101 H) sebagai syeikh al-Azhar pertama. Ada sepuluh syeikh yang berada pada daulah pertama ini, antara lain:
1. Syekh Imam el-Syarief Muhamad bin Abdullah Al-Kharasyi Al-Maliki.
2. Syekh Imam Ibrahim Muhammad Al-barmawi
3. Syekh Imam Muhammad al-Nasyraty Al-Maliky
4. Syekh Imam Abd el-Baqi el-Qulaeny Al-Malikiy
5. Syekh Imam Muhammad Syanan Al-Maliky
6. Syekh Imam Ibrahim Musa el-Fayoumy Al-maliky
7. Syekh Imam Abdellah Al-Syabrawi Asy syafi’i
8. Syekh Imam Muhammad Salim Al-Hifny Asy syafi’i
9. Syekh Imam Abd Raouf Muhammad el-Sujaeni Asy syafi’i
10. Syekh Imam Ahmad Abdel Monem el-damanhury
Secara keseluruhan ada 40 syeikh yang telah memimpin al Azhar selama 43 periode.
Masa keemasan al-Azhar terjadi pada abad 9 H (15 M). banyak ilmuan dan ulama Islam bermuculan di al-Azhar saat itu, seperti Ibnu Khaldun, al Farisi, as Suyuthi, al 'Aini, al Khawi, Abdul Latif al Baghdadi, Ibnu Khaliqan, al Maqrizi dan lainnya yang telah mewariskan banyak ensiklopedi Arab.
Kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di Mesir pada tahap selanjutnya telah membentuk sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern sekuler. Ia juga berusaha menciutkan peranan al-Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, antara lain dengan menguasai badan wakaf al-Azhar yang merupakan urat nadinya. Seterusnya, pada masa pemerintahan Khedive Isma'il Pasha (1863 – 1879) mulai diusahakan reorganisasi pendidikan dan dari ini pendidikan tradisional mulai bersaing dengan pendidikan modern sekuler. Serangan terhadap pendidikan tradisional sering tampak dari usaha yang menginginkan perbaikan al-Azhar sebagai pusat pendidikan Islam terpenting.
Sejak Napoleon Bonaparte menundukkan Mesir, sistem pendidikan Barat mulai diterapkan di sekolah-sekolah Mesir. Sementara al-Azhar masih saja mempergunakan sistem tradisional. Dari sini mulai muncul suara pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammad Ali, seorang perwiran Turki. Sesudah Prancir meninggalkan Mesir lalu ia menjadi penguasa tunggal Mesir (1805-1849 M). Ia mengirim para pelajar Mesir ke Perancis untuk tugas belajar, sementara di dalam negeri pun ia mendirikan sekolah-sekolah, dari mulai militer, teknik, kedokteran, apoteker, pertambangan, pertanian, serta sekolah terjemahan.
Diantara perubahan menonjol dari pembaharuan ini adalah dicantumkannya sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al 'Alimiyah (kesarjanaan) al-Azhar pada Februari 1872. Juga pada tahun 1896, buat pertama kali di bentuk Idarah al-Azhar (dewan administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di al-Azhar menjadi dua periode : pendidikan dasar 8 tahun serta pendidikan menengah dan tinggi 12 tahun. Kurikulum al-Azhar ikut diklasifikasikan dalam dua kelas: al 'Ulum al Manqulah (bidang studi agama) dan al 'Ulum al Ma'qulah (studi umum).
Pada perkembangan reformasi berikutnya. Muhammad Abduh sebagai salah satu reformis yang lahir pada tahun 1849 H di Mahallat Nasr sebuah desa di Mesir. Menjadi tokoh penting dalam reformis pendidikan di al-Azhar. Di antara pemikirannya yang berkaitan dengan reformis sistem pendidikan di al-Azhar adalah :
  1. Ia menentang pengkafiran terhadap segala sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan. Seperti membaca buku geografi, ilmu alam, atau filsafat adalah haram, memakai sepatu adalah bid’ah.
  2. Materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama an sich, tetapi ia juga memperkenalkan sekaligus mengajarkan filsafat, sejarah dan peradaban Eropa, teologi, serta logika.
  3. Ia tidak setuju dengan metode pengajaran di al-Azhar yang lebih menekankan kepada aspek penghafalan, tetapi ia lebih menekankan kepada mahasiswa untuk dididik berpikir.8


  1. Wajah al-Azhar Modern
Pada abad ke-21 ini, Al-Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim Alumni terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuan mengirim ini adalah untuk mengikuti perkembangan ilmiah ditingkat internasional sekaligus upaya perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar. Cukup banyak duta Al-Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas luar tersebut, diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy, Dan banyak lagi.
Sebelumnya, pada tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur Al- Azhar mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi Universitas Al Azhar menjadi tiga fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin, dan Bahasa Arab.9
Saat ini Al Azhar telah mempunyai 41 fakultas, 19 fakultas diantaranya berada di Kairo dan selebihnya berada diberbagai provinsi Mesir.10
-Fakultas-Fakultas Al Azhar Putra terdiri dari :
1. Fakultas Ushuluddin ; masa kuliah selama empat tahun, dengan jurusan-jurusan sebagai berikut :
a. Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al Qur’an b. Hadis dan Ilmu Hadis,
c. Akidah Filsafat d. Dakwah dan Peradaban Islam.
II. Fakultas Syariah ; dengan jurusan sebagai berikut :
a. Program Under Graduate, dengan jurusan :
1. Syariah Islamiyah, (4 tahun) 2. Syariah dan Hukum (5 tahun)
b. Program Post Graduate, dengan jurusan :
1. Ushul Fiqh b. Perbandingan Mazhab
2. Perbandingan Hukum d. Sosial Politik.
III. Fakultas Dakwah ; jurusan-jurusannya baru ada pada Post Graduate :
1. Perbandingan Agama.
2. Kebudayaan Islam.
IV.Fakultas Studi Islam ; dengan jurusan pada post graduate.
V. Fakultas Bahasa Arab ; dengan jurusan :
1. Bahasa Arab dan Adab (Umum)
2. Sejarah dan Peradaban,
3. Pers dan Informasi.
VI. Fakultas-Fakultas Umum, terdiri dari :
1. Fakultas Bahasa dan Terjemah 2. Fakultas Perdagangan/Ekonomi,
3. Fakultas Tarbiyah 4. Fakultas Kedokteran,
5. Fakultas Farmasi 6. Fakultas Kedokteran Gigi
7. Fakultas Tekhnik 8. Fakultas Ilmu Pasti
9. Fakultas Pertanian
-Fakultas-Fakultas Al Azhar Puteri.
I. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab, dengan jurusan sebagai berikut :
1. Syariah Islamiyah
2. Ushuluddin
3. Bahasa Arab.
II. Fakultas Studi Sosial,
III. Fakultas Kedokteran,
IV. Fakultas Ilmu Pasti,
V. Fakultas Perdagangan,
VI. Fakultas Farmasi.
Untuk fakultas-fakultas agama bagi orang asing (selain Mesir) tidak dipungut biaya kuliah, sedangkan untuk fakultas umum bagi orang asing diwajibkan membayar biaya kuliah, kecuali mereka yang mendapatkan beasiswa.
Disamping semua yang telah disebutkan diatas, Al Azhar juga mempunyai lembaga-lembaga pendidikan yang terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Î’dadiyah (setingkat SLTP), Tsanawiyah (setingkat SLTA), Sekolah Pendidikan Guru, dan Institut Seni Membaca dan Menghafal Al Qur’an.
Program Pendidikan
Pada setiap fakultas Al-Azhar terdapat dua program :
a. Program Under Graduate/S 1, dengan masa kuliah minimal empat tahun. Lulusan program ini mendapat gelar Lc (Licence). Masa aktif kuliah dimulai pada bulan September sampai Desember dengan ujian term I pada bulan Januari kemudian dilanjutkan pada pertengahan Februari – Mei yang diakhiri dengan ujian term II pada bulan Juni. Bagi yang belum lulus untuk mata kuliah Al Qur’an diberi kesempatan mengulang dibulan Agustus. Pada program ini mahasiswa dituntut untuk :
1. Lulus pada setiap mata kuliah, apabila tidak lulus lebih dari dua mata kuliah dianggap tidak naik tingkat dan harus mengulang mata kuliah yang tertinggal ditahun berikutnya. Kesempatan mengulang selama dua tahun berturut-turut, kalau masih gagal juga akan diberhentikan (mafsul/DO).
2. Diwajibkan menghafal Al-Qur’an sebanyak 2 juz untuk setiap tingkat bagi mahasiswa asing non Arab.
b. Program Post Graduate (Dirasah Ulya), dibagi dalam dua program :
1. Program Magister (Master), dengan masa pendidikan selama dua tahun setelah Lc, ditambah dua tahun penulisan tesis. Untuk meraih gelar Master dituntut :
- Hafal Al Qur’an 30 Juz bagi orang Arab dan 8 juz bagi non Arab.
- Lulus setiap mata kuliah pada ujian lisan dan tulisan yang diadakan dalam dua gelombang setiap tahunnya. Jika tidak lulus dalam satu mata kuliah harus mengulang seluruh mata kuliah pada gelombang selanjutnya, dan diberi kesempatan mengulang maksimal tiga tahun berturut-turut.
- Pada masa penulisan tesis harus mengajukan judul dengan kerangka pembahasan, setelah diterima kemudian ditentukan pembimbing.
2. Program Doktor (DR/PhD).
- Program ini berlaku hanya untuk lulusan Magister, dan diberi waktu untuk penulisan disertasi minimal dua tahun.
- Setelah diterima judul disertasinya, kemudian akan ditentukan pembimbingnnya.
  1. Analisis
Dengan rentang waktu yang lama al-Azhar tetap kokoh berdiri sebagai perguruan tinggi Islam dan memberikan informasi kepada generasi-generasi berikutnya bahwa Islam pernah menjadi kiblat pengetahuan dunia. Dengan kekuatan al-Azhar mempertahankan lembaganya maka dalam tulisan penulis melakukan beberapa analisis yang dinggap penting untuk mengatahui lebih jauh perguruan Islam pertama ini. Beberapa analisis yang dicoba untuk dijawab diantarannya : pertama, bagaimana al-Azhar mampu bertahan dalam rentang waktu yang lama, kedua, bagaimana kurikulum yang diterapkan dari generasi ke generasi, ketiga, apa kekhasan yang dimiliki al-Azhar sebagai lembaga pendidikan Islam tertua?. Selain perpindahan ulama-ulama dan pencari ilmu dari Bahgdad dan Andalus karena keruntuhan dinasti mereka ke Mesir, juga karena kebijakan dan perhatian kekhalifahan yang sangat kondusif untuk pengembangan al-Azhar sebagai sebuah perguruan tinggi. Diantaranya adalah al-Azhar banyak mendapat wakaf dari para sultan dan umara yang tujuannya adalah untuk membantu dan memelihara kemasyhuran ilmu pengetahuan di al-Azhar dan untuk kontinuitas al-Azhar sebagai pusat pergerakan ilmu pengetahuan di Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Harta wakaf al-Azhar hingga saat ini masih digunakan untuk membayar gaji para dosen dan karyawannya, pemberian beasiswa kepada para pelajar dan mahasiswa, baik untuk warga negara Mesir sendiri maupun warga negara asing, selain itu juga digunakan untuk membiayai pembangunan asrama pelajar dan mahasiswa. Selain dari harta wakaf sumber terpenting dalam manajemen keuangan al-Azhar adalah adanya pilan tropi yang berupa infaq, sedekah, zakat, dan amal dari pengelola dan mahasiswa.
Setelah penguasaan dinasti Ayyuby, faham Syi’ah kemudian dihilangkan dan diganti dengan faham Sunni. Selain itu fungsi al-Azhar kemudian meluas menjadi perguruan tinggi yang diminati dan menjadi kiblat ilmu pengetahuan. Menurut Dr. Hasanain Rabi’ bahwa pada abad ke-9 H (15 M) merupakan masa gemilang bagi al-Azhar. Karena pada saat itu al-Azhar menduduki tempat tertinggi di antara madrasah-madrasah dan jamiah yang ada di kairo pada saat itu. Ketika itu, al-Azhar sebagai induk sekolah dan sebagai Jamiah Islamiyah terbesar. Dan ulama-ulama muslimin dari berbagai negara datang dan belajar di jami al-Azhar.
Selain peran pemerintah, pembaharu-pembaharu yang dihasilkan al-Azhar pun kemudian memberikan andil cukup besar untuk pengembangan al-Azhar. Syekh Hasan al-Athar misalnya, beliau adalah orang pertama yang menyerukan agar al-Azhar dapat lebih mengembangkan diri seiring dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurutnya al-Azhar harus berani memasukkan atau mengajarkan kuliah filsafat, sastra, geografi, sejarah, dan ilmu-ilmu thabi’i yang sebelumnya dilarang di al-Azhar. Idennya yang lain adalah agar setiap permasalahan yang muncul, hendaknya merujuk kepada kitab aslinya (sumber primer).
Selanjutnya, kurikulum yang diterapkan al-Azhar dari generasi ke generasi selalu melakukan perubahan. Tapi perubahan yang dilakukan tidak lepas dari tradisi yang sudah dikembangkan di perguruan tersebut. Yang paling mendasar dan menjadi kekuatan sehingga al-Azhar mampu bertahan adalah misi yang dibawa tidak hanya berpusat pada misi dakwah sebagai gambaran utama ketika berbicara Islam, tetapi juga membawa misi ilmiyah yaitu misi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih penting dari itu, al-Azhar adalah lembaga pendidikan yang sangat kuat memegang dan mempertahankan tradisi dan sangat sedikit mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum yang diterapkan tetap menggunakan beberapa kurikulum luar tetapi hanya menggunakan sebagian kecil saja, sehingga tidak merusak tradisi keilmuan yang sudah dikembangkan sebelumnya di lembaga tersebut.
Harus diakui, memang tidak mudah mengadakan reformasi di Al-Azhar, seperti dikemukakan Zuhairi Misrawi dalam buku Al-Azhar, Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2010). Ini terlihat jelas saat Sheikh Muhammad Abduh mengusulkan Muqaddimah Ibn Khaldun untuk dimasukkan menjadi materi dalam kurikulum Al-Azhar, ditolak oleh Sheikh Muhammad Al-Anbani, Sheikh Al-Azhar waktu itu.
Ikhtiar untuk memasukkan materi ilmu-ilmu pengetahuan umum di Al-Azhar baru berhasil pada tahun 1895 M. Kehadiran model perkuliahan yang diklasifikasikan dalam fakultas ‘Ilmi (sains) dan Adaby (agama) merupakan salah satu petanda univeristas modern. Terlebih lagi saat membuka tiga Fakultas; Ushuluddin, Syariah dan Bahasa Arah melalui Undang-undang pada 1930 M semakin meneguhkan keberadaan Perguruan Tinggi yang modern.
Apalagi pada masa Sheikh Mahmud Syaltut (1961 M) yang berhasil mengekeluarkan Undang-Undang Nomor 103 Tahun 1961 M tentang penetapan Fakultas-fakultas cabang ilmu pengetahuan umum, seperti Fakultas Kedokteran, Perdagangan, Teknik, Pertanian, dan Farmasi. Sungguh meyakinkan Al-Azhar sebagai gudangnya ilmu pengetahuan dunia. (Kompas, 28/09)
Selanjutnya, sebagai lembaga Islam tertua, al-Azhar memiliki ciri khas tersendiri sehingga mampu bertahan dan tetap berdiri kokoh. Beberapa kekhasan al-Azhar misalnya pada tradisi keagamaannya, al-Azhar terkenal dengan syaikh-syaikh dan lulusan yang berkualitas dalam bidang agama. Selain itu, al-Azhar juga termasuk lembaga yang berhasil mencetak pembela-pembela agama. Sehingga agama Islam tetap kokoh dalam koridor sesungguhnya. manajemennya, al-Azhar hingga saat ini masih tetap pada konsep dasar ketika al-Azhar dijadikan lembaga pendidikan.
Kesimpulan
Setelah menganalisis pertumbuhan dan perkembangan al-Azhar dari masa awal berdirinya hingga menjadi perguruan tinggi Islam tertua dan dijadikan rujukan. Penulis dapat menyimpulkan beberapa hal penting, diantaranya :
  1. Al-Azhar awalnya adalah masjid yang dibangun dan dijadikan sarana untuk menyebarkan faham Syi’ah Ismailiyah oleh Dinasti Fatimiyah. Pada perkembangan berikutnya, al-Azhar dirubah total oleh dinasti Ayyubiyah pada faham Sunni. Setelah pengalihfungsian tersebut al-Azhar terus mengembangkan dan melahirkan ulama-ulama berkaliber dunia.
  2. Memasuki fase reformasi, dengan bermunculannya para pemikir-pemikir muslim, membawa perubahan signifikan khususnya dalam materi dan pengembangan pemikiran di al-Azhar. Di antara tokoh-tokoh yang berjasa dalam mereformasi sistem pendidikan dan menjadi pencair kejumudan wawasan berpikir serta pendobrak dikotomisasi ilmu pengetahuan di al-Azhar antara lain: Muhammad Ali, al-Tahtawi, Syeikh Hasan al-‘Athar, Muhammad Abduh.
  3. Kemampuan al-Azhar bertahan dalam rentang waktu yang cukup lama tidak lepas dari peran pemerintah yang menjadi sokongan dana atas pengembangan yang dilakukan. Selain itu, lulusan-lulusan al-Azhar banyak memberikan sumbangan untuk pengembangan al-Azhar menjadi jamiat yang besar.
  4. Saat ini al-Azhar sudah menjadi kampus Islam tertua dan terbesar. Karena pengembangan yang terus diperbaharui dan ditingkatkan menjadikan jamiat al-Azhar sebagai salah satu pilihan terbaik bagi pencari ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama dan umumnya ilmu-ilmu umum.
Daftar pustaka
Abaza, Mona, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi:studi kasus alumni al-Azhar, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999.
Glasse, Cyril, Ensklopedi Islam : Ringkas, Jakarta:PT Raja Grafindo, 1999.
Suhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Aksara, 1992.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta:Prenada Media, 2005.
Syarif, Sejarah al-Azhar: Pendirian jami al-Azhar dan kedatangan al-Muiz ke Mesir, diakses dari http://ragab304.wordpress.com. Selasa 19 Oktober 2010
syafii, sejarah singkat universitas al-azhar, diakses dari http://blog.its.ac.id. Selasa 19 Oktober 2010

Tidak ada komentar: